Blog

Kisah Irene Sokoy dan Kesenjangan Layanan Kesehatan di Papua

Kasus Kematian Ibu dan Bayi di Papua: Tantangan Sistem Layanan Kesehatan

Kasus kematian ibu dan bayi di Papua yang menimpa Irene Sokoy dan bayinya menjadi perhatian nasional. Peristiwa ini memperlihatkan tingkat kematian ibu dan bayi di Papua yang jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Dari keterangan iparnya, Ivon Kabey, kejadian bermula saat Irene mengalami kontraksi pada hari Ahad pekan lalu (16/11/2025). Ia dan keluarganya tinggal di Kampung Hobong, dekat Danau Sentani, Jayapura.

Dari lokasi tersebut, Irene harus dibawa dengan perahu cepat sejauh 20 kilometer ke RSUD Yowari, rumah sakit terdekat. Saat tiba pukul 15.00 WIT, kondisi Irene dalam status pembukaan enam dan ketuban pecah. Namun, proses persalinan tidak segera ditangani karena dugaan bayi berukuran besar. Pihak rumah sakit menyatakan bahwa satu-satunya dokter spesialis kandungan sedang cuti.

Keluarga kemudian meminta percepatan rujukan, namun surat rujukan baru selesai mendekati tengah malam. Ambulans juga terlambat tiba pukul 01.22 WIT. Rujukan ke RS Dian Harapan dan RS Abe ditolak karena ruangan penuh serta renovasi fasilitas. Mereka akhirnya mencoba ke RS Bhayangkara, tetapi pasien tidak diterima tanpa uang muka Rp 4 juta.

Irene kemudian dibawa ke RSUD Jayapura di Dok II. Selama perjalanan menuju RSUD Jayapura, pasien mengalami kejang sehingga ambulans kembali ke RS Bhayangkara. Di sana, upaya resusitasi dilakukan, tetapi nyawa Irene dan bayinya tidak tertolong. “Irene meninggal di perjalanan pukul 05.00,” kata sang ipar.

Kabar kematian Irene Sokoy kemudian sampai di Jakarta. Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mengirimkan tim investigasi ke Papua. Juru Bicara Kemenkes Widyawati menyatakan bahwa penolakan pasien oleh rumah sakit merupakan pelanggaran Undang-Undang Kesehatan yang dapat mengarah ke unsur pidana.

Gubernur Papua Mathius Fakhiri menilai kasus ini sebagai peringatan keras bagi pemerintah daerah untuk memperbaiki sistem layanan kesehatan secara menyeluruh. Presiden Prabowo Subianto juga memerintahkan melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian untuk mengaudit rumah sakit di Provinsi Papua, sebagai respon dari kabar tersebut.



Sejumlah pasien berada di teras gedung Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Jayapura, Papua, Jumat (16/7/2021). – (ANTARA FOTO/Indrayadi TH)

Tito Karnavian menegaskan bahwa tim dari Kemendagri akan turun bersama jajaran Kemenkes untuk melakukan audit paralel terhadap layanan kesehatan di Papua. Pesan Pak Presiden jelas, jangan sampai kejadian seperti ini terulang. Segera lakukan audit untuk mengetahui pokok masalahnya dan lakukan perbaikan.

Ia meminta pemerintah daerah (pemda) segera mengumpulkan seluruh pimpinan rumah sakit, dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota, hingga penyedia layanan kesehatan swasta untuk mengidentifikasi akar persoalan. “Saya minta Gubernur, setelah saya mendapat informasi, segera ke rumah korban. Keluarga korban harus dibantu,” ujar Tito.

Mama Irene bukanlah kasus tunggal di Papua. Angka kematian ibu melahirkan di Indonesia merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) terkini yang dihimpun pada 2020 dan diperbarui pada 2023, mencapai 189 berbanding 100 ribu jiwa. Angka ini melonjak tajam di timur sana. Di Papua, misalnya, angka kematian ibu melahirkan mencapai 565 orang per 100 ribu jiwa, sementara di Papua Barat pada angka 343 orang. Bandingkan dengan di Jakarta di mana angkanya 48 orang tiap 100 ribu jiwa.

Data serupa juga bisa dilihat terkait kematian bayi. Di tingkat nasional, angkanya 16,85 per 100 ribu jiwa. Di Papua angkanya 38,17 dan di Papua Barat 37,06. Angka tahun 2020 itu naik tajam dari angka 2010 yang mana di Papua 19 bayi meninggal dan di Papua Barat 28 bayi meninggal. Di Jakarta, misalnya, angkanya pada 2020 adalah 10,38 banding 100 ribu bayi.



Keterangan Mendagri Tito Karnavian soal kasus meninggalnya Irene Sokoy di Istana Kepresidenan, Selasa (24/11/2025).

Angka ini berkorelasi dengan banyak hal di Tanah Papua. Kementerian Kesehatan mencatat, dari sekitar 10 ribu puskesmas di Indonesia, hanya 272 tak punya dokter. Tapi, dari yang tak ada dokternya itu, 152 diantaranya di Papua saja. Jika dokter spesialis dimasukkan dalam hitungan, puskesmas di Papua yang tak punya melonjak jumlahnya menjadi 411 puskesmas.

Ini juga bukan angka semata. Di Papua, saat tak ada dokter di puskesmas, sering kali harus beperjalanan jauh ke rumah sakit seperti Irene yang terpaksa dibawa naik speed boat ke rumah sakit terdekat. Sementara ketika sampai di RSUD juga masih untung-untungan, belum tentu ada dokter spesialisnya. Kemenkes mencatat, ada 26 RSUD di Papua yang tak memiliki tujuh dokter spesialis lengkap.



Kondisi Tiga DOB Papua

Bukan pula fenomena ini baru diketahui pemerintah. Pada 2018 lalu, kematian anak-anak di Asmat di pegunungan tengah Papua sudah mengindikasikan parahnya layanan kesehatan di Tanah Papua.



Petugas kesehatan memberikan perawatan kepada sejumlah anak penderita gizi buruk dari kampung Warse, Distrik Jetsy di RSUD Agats, Kabupaten Asmat, Papua, Senin (22/1/2018). – (Antara/M Agung Rajasa)

Kala itu, SMAN 9 Tangerang mendapat keterangan dari Ketua Program Studi P3 Kebidanan Timika Innah Gwijangge yang mencontohkan mirisnya kondisi di kabupaten Nduga, tempat asalnya. Di seantero Nduga, daerah seluas nyaris empat kali DKI Jakarta, kata Innah, hanya ada satu rumah sakit yang dibangun kala itu. Itu pun, menurutnya, tak beroperasi lagi. Pasalnya, hanya ada satu dokter ditempatkan di situ.

Kisah tak jauh berbeda dituturkan Robby Kayame, kepala Dinas Kesehatan Paniai saat itu. Ia menyampaikan, saat itu dari 30 puskesmas yang dimiliki Kabupaten Paniai, hanya dua yang berdokter. Satu puskesmas di Enarotali, diurus tiga dokter perempuan, dan satu dokter laki-laki di Enggano.



Petugas kesehatan Puskesmas Agats menyeberangi Sungai Asewet dengan menggunakan kapal cepat untuk melaksanakan vaksinasi COVID-19 di Ewer, Asmat, Papua, Jumat (2/7/2021). – (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Terletak di daerah pegunungan Papua, petugas kesehatan di wilayah itu juga harus berjibaku menembus lembah dan bukit guna mencapai masyarakat. Menurut Robby, tiap-tiap puskesmas di Paniai, termasuk di daerah-daerah terpencil biasanya diisi lima sampai enam petugas kesehatan.

Para pimpinan dinas kesehatan dari sepuluh kabupaten di Papua rata-rata mengeluhkan hal serupa. Di Boven Digul, misalnya, dari 20 puskesmas, hanya dua yang memiliki dokter. Di Asmat juga serupa.



Petugas medis Puskesmas Agats melakukan pemeriksaan kesehatan warga yang akan menerima suntikan vaksin COVID-19 di Ewer, Asmat, Papua, Jumat (2/7/2021). – (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Share this post

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *