Awal Mula Basral Graito Jatuh Cinta Skateboard dengan Papan Rp 5.000 hingga Raih Emas di SEA Games 2025
Perjalanan Menuju Emas SEA Games 2025
Medali emas yang kini menggantung di leher Basral Graito Hutomo bukan sekadar lambang kemenangan. Ia adalah saksi bisu dari perjalanan panjang yang dipenuhi keterbatasan, air mata, dan tekad yang nyaris tak tergoyahkan. Di ajang SEA Games 2025 Thailand, remaja asal Colomadu, Karanganyar, itu berdiri di puncak tertinggi—setelah menapaki jalan yang sama sekali tidak mudah.
Basral lahir di Tangerang, Banten, pada 22 Januari 2007. Tak lama kemudian, hidup membawanya pindah bersama keluarga ke Colomadu Karanganyar, Jawa Tengah. Di sanalah kisahnya dimulai. Tahun 2017 menjadi titik balik, ketika seorang anak SD yang gemar BMX tanpa sengaja jatuh cinta pada sebuah papan kayu beroda.
Kala itu, Basral hanya memiliki satu sepeda BMX yang harus dipakai bergantian dengan kakaknya. Hingga suatu hari, ia datang ke Stadion Manahan Solo untuk menonton kompetisi olahraga ekstrem. Awalnya, matanya mencari BMX. Namun di antara riuh arena, pandangannya tertumbuk pada sesuatu yang asing sekaligus memesona.
“Aku lihat skateboard. Kok menarik ya? Papan bisa meluncur, lompat-lompat,” kenangnya.
Sepulang dari Manahan, rasa penasaran itu berubah menjadi obsesi. Seusai sekolah, ia mengikuti temannya yang memiliki skateboard. Di sebuah gudang sederhana, Basral pertama kali berdiri di atas papan pinjaman—bukan papan ideal, bahkan nyaris tak terpakai. Namun dari situlah mimpi besar mulai tumbuh.

“Temanku bilang papan itu dijual. Lima ribu rupiah aja. Ya sudah, aku beli,” ucapnya sambil tersenyum.
Dengan skateboard seadanya, Basral mulai berlatih. Hadiah ulang tahun dari sang ayah pada Januari 2018 menjadi titik terang berikutnya: sebuah papan skateboard bekas, namun sudah diperbaiki agar layak dipakai berlatih serius. Meski begitu, keterbatasan tetap menghimpit. Satu papan harus dipakai berdua dengan kakaknya. Pelatih? Tidak ada. Ia hanya mengandalkan YouTube.
“Habis sekolah nonton YouTube, sorenya langsung praktik,” katanya.
Pelataran rumah, jalanan, hingga skatepark komunitas di kawasan UMS menjadi saksi kegigihannya. Hujan adalah musuh terbesar. Setiap sore mendung datang, ia hanya bisa menatap langit dengan kecewa. “Kalau hujan, sedih. Enggak bisa main,” ujarnya lirih.

Namun ujian terberat datang bukan dari cuaca atau fasilitas, melainkan dari sistem pendidikan. Tahun 2019, saat masih duduk di bangku SD, Basral terpilih mengikuti Pelatnas selama sembilan bulan di Bandung untuk persiapan SEA Games Filipina. Kesempatan emas itu justru berujung konflik.
Sekolah melarangnya berangkat. Bahkan, ancaman tidak naik kelas sempat dilontarkan. Ayahnya terlibat perdebatan dengan pihak sekolah—demi mempertahankan mimpi anaknya.
Di sekolah, Basral juga harus menelan ejekan. Sepatu sekolahnya bolong, rusak karena terlalu sering dipakai latihan skateboard. Ia dicemooh teman-temannya. Namun kini, ia hanya tertawa mengingatnya.
“Sekarang sepatuku banyak di rumah,” katanya, disusul tawa kecil penuh kemenangan.
Di balik semua itu, sang ayah berdiri sebagai benteng terkuat. Dengan alat seadanya, ia membangun skatepark mini di lokasi tersembunyi, sekitar satu kilometer dari rumah. Di tempat sunyi itulah Basral mengasah trik-trik berbahaya, jatuh bangun tanpa penonton, tanpa sorak-sorai.
Demi masa depan skateboard Basral, sang ayah juga mengambil keputusan besar: mengalihkan pendidikan anaknya ke jalur nonformal (Paket C). Semua dilakukan agar Basral bisa fokus sepenuhnya mengejar mimpinya.
Kini, semua pengorbanan itu terbayar lunas. Emas SEA Games 2025 telah digenggam. Namun bagi Basral, ini bukan akhir.
“Target ke depan Asian Games dan Road to Olympic,” katanya mantap. Bulan depan, ia kembali ke Jakarta untuk Pelatnas. Mental dan fisik kembali ditempa.
Dari papan lima ribu rupiah hingga podium tertinggi Asia Tenggara—Basral Graito Hutomo telah membuktikan bahwa mimpi besar bisa lahir dari keterbatasan, asal diperjuangkan dengan sepenuh hati.
Tinggalkan Balasan